Hatinya di nusa kambangan




mata mata itu mulai takut
bersembunyi di lorong lorong malam
begitu lembab seusai rinai hujan sore tadi
terlihat ada kubangan air dipelupuk mata

samar samar kulihat kokoh tubuhnya, namun ia rapuh
serpihan hatinya tercecer dimana mana
seusai pertikaian semalam
hatinya, bukan miliknya lagi

hatinya sudah terpenjara...

Kabut Hati



mereka reka hati dalam senyap
perlahan memudar, lalu tak tergambar
seperti belukar

aku tak pernah mengingini kabut hitam ini
begitu pekat di hati...
tapi semuanya terjadi tanpa kusadari
dan tanpa ku ingini

Hitam

Kuburkan hatiku esok pagi...

Jauh




tubuhku berdebu
aku tak sanggup lagi mendongak
semuanya terasa Sunyi Senyap
ingin merengkuh malam, tapi aku tak berdaya

tanah yg sedari tadi ku genggam kuat
perlahan melemah, lalu berjatuhan
serbuknya ada yang terhempas angin
ada pula yang terjatuh di lututku

aku bersimpuh...
bukan untuk mengeluh
tp untuk menemui hatiku yg selama ini telah jauh

jauh, kutinggalkan karena angkuh

Hatiku meranggas...

daunku kian berguguran
aku acuh... namun tetap saja aku bergemuruh
hatiku rapuh

aku ingin rindang

Ibu pertiwi tak boleh mati!



luluh lantah...
hati kami terbakar
oleh bara kami sendiri
semoga masih ada sisa hati diantara puing hitam

Ibu pertiwi tak boleh mati!

Bilang padanya, kami manusia!




bilang padanya kami tertegun lirih
padahal kami berada dirumah kami sendiri
perjalanan kami sudah panjang
mengurai waktu & peluh,
yang tidak sedikit

untuk mengokohkan rumah
yang dulu rapuh

kini... jasad kami tercerai berai
namun hati kami masih satu

bilang padanya, kami manusia!

detik penghabisan dilantai 20




mereka kemasi diri
lalu pergi
satu, lalu dua, dan entah berapa
meninggalkan istana mimpi
yang dulu bukan apa,
tanpa mereka

segalanya hampir memudar...

2




dua
dua sisi
selalu berkompetisi
gelap & terang
hitam & putih

Ekspedisi bersama perahu tuaku




baru saja perahu tua ku tertambat
di dermaga usang pulau tak berpenghuni
misi ekspedisiku kali ini untuk mencari aku
karena beberapa paruh waktu yg telah ku lalui
aku kehilangan diriku sendiri

hmmm...perlahan langkah kaki menyusuri pulau ini
begitu damai & tentram aku disini
langkahku melewati waktu diantara hening & denyut nadi alam
alam mengajarkan ku banyak hal
kasih, kedamaian, keindahan, perjuangan untuk bertahan hidup
dan membuka mataku yang selama ini terpejam ego
akan mahadaya karya seni SANG PENCIPTA

waktu demi waktu telah kupugar di pulau ini
akhirnya...
alam mempertemukan aku dengan aku
dengan segala aku dan kehilanganku selama ini

saatnya aku harus pergi meninggalkan tempat ini
perahu tua ku sudah menanti di dermaga
aku menghela nafas sejenak...
kubiarkan semua indraku menikmati detik-detik terakhir ku disini

Ekspedisi bersama perahu tuaku telah berakhir
aku akan selalu merindu pulau ini.

Bukit riang



Diatas bukit ini dulu aku bermanja dengan sore
berlari riang berkejaran tawa.
menemani mentari pulang ke peraduannya
mengantar senja pulang ke malamnya

riang kami sudah usai
saatnya kami pulang
kunang-kunang akan mengganti riang kami
disini...

diatas bukit riang

Tuhan, Jangan ambil sahabat kecilku…


Pagi tak lagi riang
Harusnya berdendang
Sudah lama matamu tertutup, namun
Ku tau engkau memandang
Meski separuh hidupmu mengatup

Jangan pergi…
Terlalu dini…
Kau membuka mata menatap indahnya dunia

Hmmm sepertinyaaa, sore ini akan turun hujan
Bernyanyilah dibawah pelangi
Senandungkan elegi

Tuhan, Jangan ambil sahabat kecilku…

menggigil disatu titik pilu


hatiku menggigil disisi perapian
aku tak berdaya, saat hati ini meronta
meminta selimut pelindung malamku

satu garis cahaya api menembus sudut mata
sadarkan dari lamunan pekat & tatapan kosong
tapi hati ini tetap saja menggigil

sampai bara api menjadi abu
tetap saja ia tertegun tak berucap
menggigil disatu titik pilu

panglimaku yang kian rapuh...



tak berdaya, sungguh
saat waktu gerogoti raut kulitmu
hingga bergaris garis miris
lalu mengoyak tangguhmu

ingin hati, membawamu lari dari lorong waktu
namun, ku tak berdaya hempaskan sang waktu

perlahan usia merayapi perkasamu
pun sang waktu hinggapi rapuhmu

airmata haru untuk panglima keluargaku
yang kian rapuh, namun jiwanya tetap tangguh

ayah...


Wahyu Munajat, 2009
Ruang ICU RS. Ciremai - Cirebon
(saat terjaga disamping tidur ayahku yg sedang koma)

Kidung sunyi : Jumat 15 Januari 2010 (03.00 wib), Saat Matahari masih tertidur diantara lantunan kidung rinai hujan. Ayahku menutup mata dan menghembuskan nafas mengakhiri denyut nadi terakhirnya. Selamat jalan panglima keluargaku yg tangguh…
doa & cinta kami takkan pernah usai.


antara peluh & keluh malam itu


belum jua ku seka peluh di keningku,
kau sudah mengajakku berpacu ke satu waktu

belum jua kutanggalkan baju lusuhku,
kau sudah mengoyak seisi aku

beri aku lima menit saja, hanya itu
biar kuredam peluh & keluh
setelah semuanya luluh

kan kukatakan, yang lalu
dimana hatiku kusimpan, kemarin lalu...

tanahku, airku, perlahan memudar...


seperti yg terlalui, senja... senja itu
waktu yg selalu saja kunanti
dengan sejuta pesona, kecantikan, dan
misteri yg tak pernah kupahami

senja ini aku tak berpijak pada tanah
duduk diatas sampan kecil, sampan tua
semasa kecil aku selalu bermain bersamanya
disini...

matahari sebentar lagi pulang, titik titik air mulai meniti
pandangan memutar sekitar, tak lepas sedikitpun
tertegun, menyaksikan pemandangan yg enggan kupandang
telah banyak berubah, tanah & sungai bermainku

dulu, aku masih bisa melihat matahari berpulang dibalik ranting
melihat kupukupu yg berkejaran diatas kuncup berembun
ilalang yang berbaris menyaksikan tawaku

tertinggal,
satu pohon bersar yg berdiri tegak , diantara beton beton itu.
saksi riangku dimasa lalu...

tanahku, airku, perlahan memudar...

lalu gelap dan takut, menyekapku...




menggelegar ia di jendela kamarku
suara itu menggetarkan lamunan
tersibak tirai jendela kamarku
kian mencekam...

dingin mulai merambat dinding dinding kamar, perlahan
tak tertahankan, sampai seisi kamar ini menggigil
gelap pun kian merayap, perlahan
memudarkan tatapan yg lemah

duduk di sudut kamar gelap
menggigil, lalu takut menyekapku
mencoba menyatu dengan situasi ini, namun
tak mampu...

dering


kuncup matamu sedari tadi berembun
namun tampak begitu lelah, bahkan hampir layu

sampai detikmu berdetik
kau tetap saja tak beranjak dari pusaran itu
padahal waktu sudah di genggaman

sampai detik yg ku tak tau
telponmu berdering...
seketika itu matamu hidup
kau memerah
kau hempaskan embun dari kuncupmu
kau beranjak dari layu yg membekukan mu

dan sandiwara itu mengakhiri episode
dering

sahabat lama, begitu...


masih tergambar jelas baju lusuh itu
dengan beberapa kelereng ditangan
kita bermain canda & tawa di dekat pohon besar
begitu riang senyum ini
begitu lepas tawa kami
meski, sesekali pertempuran terjadi diakhir kompetisi

namun kita punya ritual penawar perang hati
mandi di sungai...
semua emosi mengalir bersama aliran air
airmata & jubah ego pun ikut hanyut
menyisakan hatihati yg sudah tertata rapi

bahagia, begitu...
rasanya


(Jakarta, 18 Mei 09, untuk sahabat yg enggan pergi dari pintu hati)

dermaga malammalam




semakin merapat ke dermaga
semakin dekat dengan malammalam yg telah ditinggalkan
malam yg hampir memudar
semoga tak perlu pijarkan lilin
bintang masih terjaga
diatas kepala kita

aku akan berpisah dengan malam
tapi bukan untuk saat ini...

mengikuti detik ia pergi


mataku tertuju pada satu cahaya
yg hampir menyusup redup dibingkai mega
ini detik detik terakhir kepergiannya
ia membenamkan diri pada awan
ia membenamkan diri dari tatapan mata yg terjaga
berjuta mata yg telah ia pijari sedari pagi

ia harus pulang, mungkin untuk tidur
atau berpijar di matamata yg lain
jauh diujung sana

dunia baru : dunia cinta


perang sudah usai
anak panah & tombak pun sudah tak berdiri tegak
genderang perang sudah berganti nada
seiring panji yg mulai dilucuti

tak ada lagi airmata!

simpan saja dulu

sudah letih...

hari menjelang senja
masih saja kau mengurai benang kehidupan yg kusut
dan hendak menyulamnya diatas hati
di malam hari

mengapa tidak kusimpan saja dulu
biar esok kau urai kembali
benang kehidupanmu

minder


diam, bukan berarti diam
mungkin tiba saatnya, sejenak menutup tirai
bercengkrama & bermanja dengan katakata sendiri
di gubuk yg kubangun dengan kedua tangan ini

hendak membeli sekantung cinta


pada satu sore sesaat menjelang matahari pulang
aku berjalan menyusuri jalan itu
hendak membeli sekantung cinta
seperti cinta dua insan manusia yg kulihat pagi tadi
iri aku melihat cinta lelaki dan perempuan senja
lelakinya duduk dikursi roda & wanitanya menjaganya dengan bungkuk.
usianya telah layu, namun cintanya masih segar...
lebih segar dari kuncup mawar tamanku

hmmm letih, perjalananku hampir tiba di perbatasan malam
belum jua aku dapati sekantung cinta itu
semua warung yg kudatangi memberi satu jawaban yg sama.
maaf cinta tak terbeli...
cintamu akan menghampiri,,,

sisa-sisa senandung itu

matahati pun mulai tak berbinar lagi
karena batas antara redup & gelap kian tak berbatas
senandung yg dulu pernah ada & sekarang tiada
masih membekas, masih terngiang indah
kumpulkan sisa-sisa senandung itu...
dan rangkai menjadi simfoni sederhana

detik penghabisan di tanah itu




kereta kencanaku telah tiba
detik-detik akhir kian lekat saja
detik penghabisanku ditanah ini
tanah yg telah mengurai uraian cerita kehidupanku
tanah yg telah menyaksikan airmata & tawa semasa lalu
tanah yg telah melantunkan simfoni & elegi kehidupanku
oh tuhan,,, aku harus beranjak saat ini jua
waktu ku tak lama lagi...
akupun beranjak perlahan dengan langkah sendu
langkah kaki ini kian mendekati kereta kencana yg telah menantiku
airmata mengantarkan langkahku menuju kereta itu
aku duduk tertunduk di kursi belakang
rasa tak ingin menatap,,,namun ini detik terakhirku menatap
dengan airmata dipelupuk yg belum jua habis
ku tatap tanahku di detik penghabisan

aku pergi...

redup


jalan kehidupan yg sedari dulu kutapaki
kian terjal saja, likuan berbatu kian pilu
mata pun tak sanggup lagi menembus pandang
terlalu redup samar cahaya yg membias mata
hingga luka disekujur tubuh tak tampak lagi
tertatih...
perih...
menyusuri jalan setapak kehidupan dengan segala misterinya
langkah ini tak mungkin terhenti disini
karena hidup hanya sekali
terus melangkah meski tertatih
hingga mata tak sanggup lagi ku buka
atau nafas tak lagi berdenyut nadi