ladang kasih


biarlah airmata ini
menjadi benih-benih bahagia
diladang kasih yg sedang tandus
gemburkan tanahnya dengan peluh
sajikan sekantung air rindu penawar lelah

hingga tiba waktu yg ditungu
untuk kau semai bahagia
diladangmu sendiri

hujan dihati sore tadi


13.29 duduk ditepian gedung
memandang hujan berduyun duyun
siang namun seperti senja menuju malam
wajah langit pun begitu pekat & pucat
hati ini kian menggigil
padahal hujan tak basahi sedikitpun hati ini
namun kenapa hati ini menggigil?...
oh ternyata dihatiku hujan pula
hujan airmata dihati sore tadi telah usai
namun masih menyisakan titik-titik air

lumpuh


pagi ini aku belajar berjalan
satu langkah...
dua langkah...
dilangkah ketiga...
aku harus jatuh kembali
tersadar bersama air mata
bahwa aku tak mampu berjalan
kedua kaki hatiku telah lumpuh

kapan lara ini kan lari...



kegundahan kembali menghampiri
duduk ditepian hati
bersama peri mimpi yg tersakiti
entah sampai kapaaan...
lara ini kan lari

aku tak tau...



serpihan kasih yg berserakan di altar

biarkan serpihan cintamu berserakan di altarnya
jangan kau coba punguti & satukan kembali
biarkan apa adanya saja...
kita lihat esok nanti
adakah lelakimu yg sesungguhnya kan datang
punguti serpihan hatimu dengan kantung kasihnya
agar bisa ia rangkai kembali digubuknya

lelah

lelah berpacu dengan peluh
lelah berlari pada matahari
hingga detik terakhir
penghabisan aku
mengejar mimpi itu

cinta melulu


cinta...
sedari dulu para sastrawan & pujangga telah membedahnya.
namun, tak pernah usai jua
takkan pernah habis mutiara kata terpakai
untuk merangkai makna cinta yg bermandi misteri

merona

Merona langit ku
Saat kupuja cantiknya
Merona temaramku
Saat kupuja indah kerlipnya

Merah pipinya
Merona pipinya
Merekah indah

Langit desaku...

Detik terakhir

Hilang
Dalam gelap
Rasa itu
Menggelepar hampir mati



merona

Merona langit ku
Saat kupuja cantiknya
Merona temaramku
Saat kupuja indah kerlipnya

Merah pipinya
Merona pipinya
Merekah indah



Namun kita selalu mendua dengan dunia




Pemilik langit dan bumi
mencintaimu...
dengan cinta yang tak pernah redup
selalu berpijar di setiap ruang hatimu

Pemilik ruh dan ragamu
menyayangimu...
dengan kasih seperti pasir putih
tak kuasa mata menghitungnya

Rahmat terurai dalam setiap hembus nafasmu
nikmat mengalir dalam aliran raga & jiwamu
apa yang nampak dan tak nampak
adalah milik-Nya

namun...
kita selalu mendua dengan dunia


(ditulis untuk sahabatku, yg terlepas dari jerat kanker)

renovasi hati...


kala itu...
menata ruang hati sesaat
lalu...
menjemputmu diruang rindu
dan...
bawamu kembali terbang keruang hati
bercerita bercinta nostalgia cinta yg tertunda disana
sampai mati...
dan kidung itu kembali sunyi

airmata di pancuran bambu

dengan wajah layu tertunduk murung
ia menangis ditepi sungai
gemericik air dari pancuran bambu
dendangkan simponi kedamaian
membuatnya lupa penghinaan tadi
lalu...
kembali ia bercermin di sungai itu
bukankah ini mahakarya sang pencipta?
lalu mengapa mereka menghina.