tanahku, airku, perlahan memudar...


seperti yg terlalui, senja... senja itu
waktu yg selalu saja kunanti
dengan sejuta pesona, kecantikan, dan
misteri yg tak pernah kupahami

senja ini aku tak berpijak pada tanah
duduk diatas sampan kecil, sampan tua
semasa kecil aku selalu bermain bersamanya
disini...

matahari sebentar lagi pulang, titik titik air mulai meniti
pandangan memutar sekitar, tak lepas sedikitpun
tertegun, menyaksikan pemandangan yg enggan kupandang
telah banyak berubah, tanah & sungai bermainku

dulu, aku masih bisa melihat matahari berpulang dibalik ranting
melihat kupukupu yg berkejaran diatas kuncup berembun
ilalang yang berbaris menyaksikan tawaku

tertinggal,
satu pohon bersar yg berdiri tegak , diantara beton beton itu.
saksi riangku dimasa lalu...

tanahku, airku, perlahan memudar...

lalu gelap dan takut, menyekapku...




menggelegar ia di jendela kamarku
suara itu menggetarkan lamunan
tersibak tirai jendela kamarku
kian mencekam...

dingin mulai merambat dinding dinding kamar, perlahan
tak tertahankan, sampai seisi kamar ini menggigil
gelap pun kian merayap, perlahan
memudarkan tatapan yg lemah

duduk di sudut kamar gelap
menggigil, lalu takut menyekapku
mencoba menyatu dengan situasi ini, namun
tak mampu...

dering


kuncup matamu sedari tadi berembun
namun tampak begitu lelah, bahkan hampir layu

sampai detikmu berdetik
kau tetap saja tak beranjak dari pusaran itu
padahal waktu sudah di genggaman

sampai detik yg ku tak tau
telponmu berdering...
seketika itu matamu hidup
kau memerah
kau hempaskan embun dari kuncupmu
kau beranjak dari layu yg membekukan mu

dan sandiwara itu mengakhiri episode
dering

sahabat lama, begitu...


masih tergambar jelas baju lusuh itu
dengan beberapa kelereng ditangan
kita bermain canda & tawa di dekat pohon besar
begitu riang senyum ini
begitu lepas tawa kami
meski, sesekali pertempuran terjadi diakhir kompetisi

namun kita punya ritual penawar perang hati
mandi di sungai...
semua emosi mengalir bersama aliran air
airmata & jubah ego pun ikut hanyut
menyisakan hatihati yg sudah tertata rapi

bahagia, begitu...
rasanya


(Jakarta, 18 Mei 09, untuk sahabat yg enggan pergi dari pintu hati)

dermaga malammalam




semakin merapat ke dermaga
semakin dekat dengan malammalam yg telah ditinggalkan
malam yg hampir memudar
semoga tak perlu pijarkan lilin
bintang masih terjaga
diatas kepala kita

aku akan berpisah dengan malam
tapi bukan untuk saat ini...

mengikuti detik ia pergi


mataku tertuju pada satu cahaya
yg hampir menyusup redup dibingkai mega
ini detik detik terakhir kepergiannya
ia membenamkan diri pada awan
ia membenamkan diri dari tatapan mata yg terjaga
berjuta mata yg telah ia pijari sedari pagi

ia harus pulang, mungkin untuk tidur
atau berpijar di matamata yg lain
jauh diujung sana

dunia baru : dunia cinta


perang sudah usai
anak panah & tombak pun sudah tak berdiri tegak
genderang perang sudah berganti nada
seiring panji yg mulai dilucuti

tak ada lagi airmata!

simpan saja dulu

sudah letih...

hari menjelang senja
masih saja kau mengurai benang kehidupan yg kusut
dan hendak menyulamnya diatas hati
di malam hari

mengapa tidak kusimpan saja dulu
biar esok kau urai kembali
benang kehidupanmu

minder


diam, bukan berarti diam
mungkin tiba saatnya, sejenak menutup tirai
bercengkrama & bermanja dengan katakata sendiri
di gubuk yg kubangun dengan kedua tangan ini

hendak membeli sekantung cinta


pada satu sore sesaat menjelang matahari pulang
aku berjalan menyusuri jalan itu
hendak membeli sekantung cinta
seperti cinta dua insan manusia yg kulihat pagi tadi
iri aku melihat cinta lelaki dan perempuan senja
lelakinya duduk dikursi roda & wanitanya menjaganya dengan bungkuk.
usianya telah layu, namun cintanya masih segar...
lebih segar dari kuncup mawar tamanku

hmmm letih, perjalananku hampir tiba di perbatasan malam
belum jua aku dapati sekantung cinta itu
semua warung yg kudatangi memberi satu jawaban yg sama.
maaf cinta tak terbeli...
cintamu akan menghampiri,,,

sisa-sisa senandung itu

matahati pun mulai tak berbinar lagi
karena batas antara redup & gelap kian tak berbatas
senandung yg dulu pernah ada & sekarang tiada
masih membekas, masih terngiang indah
kumpulkan sisa-sisa senandung itu...
dan rangkai menjadi simfoni sederhana

detik penghabisan di tanah itu




kereta kencanaku telah tiba
detik-detik akhir kian lekat saja
detik penghabisanku ditanah ini
tanah yg telah mengurai uraian cerita kehidupanku
tanah yg telah menyaksikan airmata & tawa semasa lalu
tanah yg telah melantunkan simfoni & elegi kehidupanku
oh tuhan,,, aku harus beranjak saat ini jua
waktu ku tak lama lagi...
akupun beranjak perlahan dengan langkah sendu
langkah kaki ini kian mendekati kereta kencana yg telah menantiku
airmata mengantarkan langkahku menuju kereta itu
aku duduk tertunduk di kursi belakang
rasa tak ingin menatap,,,namun ini detik terakhirku menatap
dengan airmata dipelupuk yg belum jua habis
ku tatap tanahku di detik penghabisan

aku pergi...